-
PASCA KENAIKAN HARGA BBM
BBM ON DEMO
Pasca kenaikan harga BBM banyak kejadian tak terduga mulai terjadi, demo para sopir angkot menuntut kenaikan tarif yang sesuai vs demo para pengguna jasa angkot yang enggan membayar lebih, menurunnya keuntungan para penjual barang kebutuhan pokok dipasar juga menjadi masalah tersendiri, akan tetapi yang lebih mengerikan lagi adalah “demo”-nya para mahasiswa.
Demi masyarakat mereka rela ber-demo-ria mengabaikan pendidikannya, orasi digelar ditempat yang mereka anggap strategis dan tidak lupa mereka juga melakukan tindakan anarkis khas pendidikan “intelektual” mahasiswa Indonesia. Pencoretan kaca mobil ber-plat merah adalah salah satunya. Mereka tentu saja tidak mau disalahkan, menurut mereka yang salah adalah pemerintah. Dengan alasan.....
Dengan alasan jika demo baik-baik, sopan dan tertib, tuntutan mereka tidak akan didengar oleh “telinga” pemerintah maka jadilah domo “keras” versi mahasiswa tersebut. Anehnya demo kaum intelek yang meng-atas namakan rakyat tersebut justru menyengsarakan rakyat, misalkan pencoretan kaca mobil plat merah tentu akan dibersihkan dengan “uang” rakyat juga atau paling tidak berdampak pada para PPJ (“Pengusaha” Pinggir Jalan) alias para pedagang sekitar tempat mereka biasa mangkal yang digunakan untuk menggelar demo akan terimbas jika demo berakhir dengan ricuh dan rusuh.
Penyebab kerusuhan versi mahasiswa dikarenakan tindakan represif kepolisian yang berlebihan dalam “menjaga” demo mereka, sedangkan dari pihak kepolisian mereka hanya dan telah melaksanakan SOP (Standard Operational Procedure) alias menurut tata cara yang telah tertulis, belum lagi tentang pencegahan adanya provokator yang “hinggap” di kubu para pendemo tersebut. Ok, mari kita ambil contoh singkat saja, dalam suatu demo oleh mahasiswa yang telah terorganisir dan di pantau oleh polisi, polisi melihat dan mendapatkan tanda adanya provokator yang membonceng dalam demo tersebut, maka polisi tentu saja akan bertindak menurut standar mereka untuk melakukan pencegahan, mungkin salah satunya adalah dengan melakukan penangkapan, dalam penangkapan tersebut si-provokator akan melakukan tindakan apa saja yang memancing para pendomo asli untuk bereaksi, bisa dengan meneriakkan kata-kata yang menyatakan bahwa dia adalah mahasiswa dengan jurusan bla... bla... bla... yang diserang oleh secara brutal oleh polisi atau dengan teriakan kata-kata yang bersifat agamis (mengatas namakan agama tertentu) sehingga terpancinglah rasa solidaritas para pendemo asli. Jika mereka terpancing maka dapat dipastikan akan terjadi pesta besar dan hujan batu dan sebagainya.Sebenarnya jika kita (para pendemo) mampu dan mau memahami sebab-sebab dan akibat-akibat-nya, kita bisa meminimalkan terjadinya “pesta hujan” tersebut dengan cara-cara yang sederhana saja:
Lakukan pendataan peserta demo.
Catat siapa saja nama peserta, jurusan, semester jika perlu NIM-nya, lalu lakukan cek dan ricek untuk mengetahui keabsahan para peserta.
Pengelompokan.
Jika peserta berjumlah banyak, berbeda jurusan dan sebagainya maka lakukanlah pengelompokan berdasarkan asal peserta.
Sosialisasi dan pengenalan peserta
Pera peserta hendaknya saling mengenal peserta lainnya mulai dari per kelompok hingga seluruh peserta, hal ini bertujuan menghindari adanya penyusuban oleh provokator dan mencegah reaksi solider yang terjadi jika si-provokator tersebut ditangkap oleh polisi. Paling tidak sebagian peserta akan tahu bahwa yang ditangkap bukanlah anggotanya sehingga demo tetap bisa berjalan dengan lancar.
Sosialisasi yang dimaksud disini adalah tentang “kegiatan” demo dan segala resikonya. Jika terjadi penangkapan terhadap peserta asli yang dianggap provokator oleh polisi, tertuduh hendaknya jangan melawan dan para teman peserta tertuduh jangan memancing emosi kedua belah pihak, berikan kemudahan “serahkan” tertuduh untuk di proses dan saya yakin polisi tidak akan bertindak kasar karena sikap peserta yang kooperatif. Jika masih terjadi adanya penganiayaan oleh polisi, peserta lainnya jangan ikut berbuat aniaya, “rekam” saja kejadian tersebut secara digital atau dalam memori kepala. Jika demo telah usai hasil rekaman tersebut bisa digunakan untuk menuntut dengan segala konsekuensinya para penganiaya tersebut.
“Wah... jika teman saya dianiaya polisi tentu saja saya akan membela saat itu juga untuk menyelamatkannya!”. Pembelaan bukan hanya dapat dilakukan pada saat kejadian saja, anda dapat melakukan pembelaan dengan memperjuangkan adanya pengadilan yang sah nantinya dengan bukti yang telah anda rekam karena negara kita adalah negara hukum. “ya nati kita terlanjur babak belur dong jadinya?” menjadi martir adalah resiko yang harus diterima oleh para peserta, jika takut menjadi martir karena memperjuangkan hal yang baik maka alangkah enaknya jika tidak usah menjadi peserta saja, ya tho?.
Soekarno menjadi martir atas “demokrasi”nya dengan mengijinkan PKI, Soeharto menjadi martir atas “pembangunan bangsa” yang dianggap berbasis KKN, bahkan Amin Rais menjadi martir “reformasi” yang justru dituduh tidak bertanggung jawab? Bagaimana mungkin bertanggung jawab? Wong jadi presiden saja belum kok, lalu bagaimana membuktikannya? malah para pembonceng yang tidak punya inisiatif justru menjadi presiden pasca reformasi. Jadi kesimpulannya jika anda mau berdemo hendaklah bersiap-siap untuk menjadi martir jangan takut dengan segala resiko dan tuduhan-tuduhan miring lainnya.
Selain tindakan pencegahan dari pihak pendemo seperti tertulis diatas, pihak kepolisian juga harus melakukan perubanan SOP-nya, entah bagaimana caranya agar penangkapan provokator lebih definitif dan bersih sehingga tidak memancing “pesta”, jika perlu lakukan komunikasi dengan ketua pendemo. Saya yakin sekali lagi jika pendemo dan polisi melakukan hal diatas maka komunikasi dan situasi tidaklah sulit seperti sekarang ini.
Harapan saya sebagai masyarakat adalah terciptanya rasa aman dan damai dalam segala hal. Jika hal itu terwujud kesejahteraan dengan sendirinya akan tercipta.
0 comments: